Membangun sebuah ekosistem yang ramah terhadap startup bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Diperlukan peran penting pemerintah untuk mewujudkannya seperti regulasi yang memudahkan perizinan usaha, perlindungan ekspor atau impor, dan tak lupa, permodalan.
Suharso Monoarfa, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengatakan bahwa dalam persiapan menuju Industri 4.0, Indonesia berada tidak jauh di bawah Vietnam tetapi jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Hal tersebut diungkapkannya dalam diskusi bertajuk "Government Support to Accelerate Startup Ecosystem" pada konferensi GoStartupIndonesia Scale Con 2018 di Jakarta, Senin (3/12).
"Negara harus hadir dalam pendukungan dan percepatan startup. Setiap startup yang mendapatkan permodalan tentunya harus melewati seleksi yang ketat. Tetapi, untuk membuat modal ventura milik negara bukanlah hal yang mudah. Harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan juga anggaran yang tersedia. Selain itu, pembiayaan di bidang teknologi harus ditingkatkan supaya kreativitas dan inovasi juga meningkat," tambahnya.
Ia juga berpesan untuk membuat startup harus dimulai dari potensi yang dimiliki masing-masing. "Sebagian besar yang saya amati dari startup di Indonesia adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat atau mendekatkan customer dengan produsen. Ya, tepatnya lebih banyak pada tingkatan seperti itu. Belum banyak inisiator. Tetapi tidak masalah, hal ini adalah sebuah kemajuan," sambungnya.
Setali tiga uang dengan Suharso, Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak tantangan untuk menciptakan ekosistem yang ramah terhadap startup. Menurutnya, startup bukanlah konsep dalam berbisnis yang secara eksklusif milik Indonesia tapi masyarakat Indonesia yang mengadopsi dari tren global yang sedang terjadi.
"Startup dapat diartikan juga sebagai upaya dan cara baru global dalam memutar uang. Hal ini mengubah aspek finansial atau pun investasi secara keseluruhan. Kalau tidak ada skema baru, startup, ya, sebenarnya sama saja dengan Usaha Kecil Menengah (UKM). Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah yang tepat dalam penciptaan sebuah ekosistem untuk startup," katanya.
"Ekosistem yang seperti apa? Ekosistem yang sarat dengan insentif dan minim regulasi. Bekraf sebagai penyalur bantuan insentif pemerintah tidak memberikan kepada startup secara asal. harus diperhitungkan dengan tepat. Begitu juga dengan regulasi, banyak regulasi baru yang diharapkan oleh startup untuk segera direalisasikan oleh pemerintah. Kalau regulasinya terlalu heavy touch, startup sulit untuk berkembang," tutup Ricky.
Suharso Monoarfa, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengatakan bahwa dalam persiapan menuju Industri 4.0, Indonesia berada tidak jauh di bawah Vietnam tetapi jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Hal tersebut diungkapkannya dalam diskusi bertajuk "Government Support to Accelerate Startup Ecosystem" pada konferensi GoStartupIndonesia Scale Con 2018 di Jakarta, Senin (3/12).
"Negara harus hadir dalam pendukungan dan percepatan startup. Setiap startup yang mendapatkan permodalan tentunya harus melewati seleksi yang ketat. Tetapi, untuk membuat modal ventura milik negara bukanlah hal yang mudah. Harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan juga anggaran yang tersedia. Selain itu, pembiayaan di bidang teknologi harus ditingkatkan supaya kreativitas dan inovasi juga meningkat," tambahnya.
Ia juga berpesan untuk membuat startup harus dimulai dari potensi yang dimiliki masing-masing. "Sebagian besar yang saya amati dari startup di Indonesia adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat atau mendekatkan customer dengan produsen. Ya, tepatnya lebih banyak pada tingkatan seperti itu. Belum banyak inisiator. Tetapi tidak masalah, hal ini adalah sebuah kemajuan," sambungnya.
Setali tiga uang dengan Suharso, Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak tantangan untuk menciptakan ekosistem yang ramah terhadap startup. Menurutnya, startup bukanlah konsep dalam berbisnis yang secara eksklusif milik Indonesia tapi masyarakat Indonesia yang mengadopsi dari tren global yang sedang terjadi.
"Startup dapat diartikan juga sebagai upaya dan cara baru global dalam memutar uang. Hal ini mengubah aspek finansial atau pun investasi secara keseluruhan. Kalau tidak ada skema baru, startup, ya, sebenarnya sama saja dengan Usaha Kecil Menengah (UKM). Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah yang tepat dalam penciptaan sebuah ekosistem untuk startup," katanya.
"Ekosistem yang seperti apa? Ekosistem yang sarat dengan insentif dan minim regulasi. Bekraf sebagai penyalur bantuan insentif pemerintah tidak memberikan kepada startup secara asal. harus diperhitungkan dengan tepat. Begitu juga dengan regulasi, banyak regulasi baru yang diharapkan oleh startup untuk segera direalisasikan oleh pemerintah. Kalau regulasinya terlalu heavy touch, startup sulit untuk berkembang," tutup Ricky.
Post A Comment:
0 comments: